Wednesday, April 11, 2007

Metamorfosa Seorang Wanita

Oleh Dwi Urika Prihartini, 2006.


Ada dua hal yang pasti dalam hidupku yaitu saat kelahiranku dan saat kematianku. Yang belum aku ketahui adalah kejadian sebelum kelahiranku, yang mungkin tidak akan pernah dapat kuingat, saat aku berada dalam rahim ibuku, dan saat sebelum itu. Lalu kejadian antara kelahiran dan kematianku, yang sedang kujalani saat ini. Setiap detiknya waktu selalu ditambahkan, tidak ada kesempatan mundur. Dan terakhir adalah kejadian sesudah kematianku, sesuatu yang belum aku jalani dan aku takuti.

Kini, aku sedang menjalani kehidupan. Terjebak dalam lingkaran ruang dan waktu. Di atas bumi dan hitungan dua puluh empat jam sehari, yang dibagi-bagi dalam beberapa segmen pekerjaan dan rutinitas yang harus kujalani.

Bosan! Sebenarnya, apa yang sedang kujalani ini? Sesuatu yang absurd. Kesepian dan kegelisahan ada dimana-mana. Wajahku bertahta di setiap muka yang kutatap. Apa yang kucari di kehidupan ini? Kebahagiaan? Seperti apakah kebahagiaan itu. Apa yang membuatku bahagia. Aku menutup buku diariku. Kuputuskan untuk tidak membukanya lagi sebelum ?aku memperoleh sebuah jawaban. Jika tidak, aku akan menulis hal yang sama berulang-ulang. Kembali aku bergulat dengan rutinitas sehari-hari, sebagai ibu rumah tangga. Ya, aku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tetapi sebagai apapun aku, tidak akan dapat menyembunyikan apa yang ada di dalam batinku, pertanyaan-pertanyaanku.

Malam ini, anak-anakku telah tidur semenjak sore. Suamiku masih terpekur di dalam buku dan penanya. Sejenak aku menatapnya. Ada sesuatu yang berubah dalam caraku memandangnya kini. Tidak seperti dulu, saat kami masih belum menikah. Saat itu, getaran selalu muncul saat aku memandangnya. Dan saat kami bersentuhan tanpa sengaja, panas dingin terasa. Tetapi kini, sentuhan dan pandangan telah menjadi hal yang biasa, bukan sesuatu yang menggetarkan lagi. Tetapi, ada sesuatu yang baru. Cinta kami telah bermetamorfosa sedemikian hingga lebih rumit untuk dijelaskan, tetapi lebih sederhana. Anak-anak kami telah menyatukan kami, untuk lebih saling mengerti. Anak-anak kami menjadi sarana bagi kami untuk berkaca dan memperbaiki diri. Anak-anak kami menjadi cermin tentang siapa kami. Melalui dia, aku memahami bagaimana menjalani kehidupan. Kesadaran tentang kesendirian di satu sisi, dan kenyataan tentang adanya suami dan anak-anakku, membantuku untuk memahami kesendirian.

Aku terus berubah. Musik tentang cinta, tidak lagi indah di telingaku.

“Itu semu!” kataku dalam hati. Bukan, bukan musik yang mampu meluapkan kebahagiaanku.

Di tengah pusat perbelanjaan. Orang-orang berlalu lalang. Di mall, di jalan-jalan, di pertokoan, dengan uangnya, perhiasannya, bajunya, belanjaannya.

Sementara aku, dengan sejumlah uang di tangan. Mungkinkah meraih semua yang kuinginkan?

“Tidak!” kataku dalam hati. “Disini aku dibatasi. Disini aku serba terbatas. Bukan ini yang membuatku bahagia. Hanya keletihan.”

Kembali dengan hari-hari rutinku. Apa yang kuperoleh dari rutinitas? Mengapa aku mau menjalaninya? Rutinitas seorang ibu rumah tangga. Tak seorangpun yang akan menganggapnya istimewa.

“Tapi, aku terjebak di sini. Haruskah aku meninggalkan ini, lalu berkelana mencari jawaban pertanyaanku? Mengapa sang penyendiri digabungkan dengan kesibukan ini?”

Tiba-tiba aku terperanjat. Apa yang sedang aku lakukan? Siapakah sebenarnya aku? Darimanakah datangku? Kemanakah aku akan pergi?

Ya. Aku disini, dengan kesibukanku. Semua orang akan melihatnya begitu. tetapi hati dan pikiranku, selalu berkelana untuk mencari sesuatu.

“Tidakkah aku lelah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Dan jasadku berjalan dalam rutinitasnya. Apa sebenarnya maksud dari semua ini?”

Ya, aku lelah. Aku ingin berhenti sejenak dari pikiranku.

Pernah aku mencoba menelusuri, saat-saat sebelum kelahiranku. Apakah aku dapat dibilang ada pada saat itu? Dimanakah aku pada saat itu? Dan kini, seberapa ada-kah aku? Dan jika aku telah mati, apa yang akan terjadi? Apakah aku masih ada? Ataukah benar-benar tiada, seperti debu yang tertiup angin. Kalau memang begitu, lebih baik aku tidak pernah ada. Tetapi aku ada, hari ini.

Lorong tak berujung. Pertanyaan sebelum, dan sesudah keberadaanku. Aku menyerah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah, tentang adanya rahasia. Aku pasrah, bahwa sebelum dan sesudah itu ada dalam genggaman rahasia. Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menolongku, karena mereka semua sama seperti aku. Aku akan mengikuti jalan Tuhan.

Dan demikianlah aku kini. Aku mencoba menjalani jalan Tuhan. Itu terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan sejak itu pula, aku memang tetap sendirian, tetapi aku mempunyai harapan. Dan harapan itu pula yang selalu diucapkan oleh Tuhan. Dan, sejak bertahun-tahun pula, aku mulai berubah.

“Aku memang sendiri, berjalan di kehidupan ini. Tetapi kini, aku mempunyai cermin. Cermin itu adalah para pejalan yang sendiri,” tulisku dalam diariku lagi.

“Aku mulai masuk ke dalam gerbang jawabannya.”

Dan, suami dan anak-anakku adalah para pejalan yang kulihat sebagai cermin. Dengan cermin itu, ruang sempit kesendirianku menjadi semakin luas, dan bahkan menjadi begitu luas. Setiap saat, cermin itu bertambah dalam diri orang-orang dan segala sesuatu yang kutemui.

Aku menjadi seorang penyendiri yang tidak sendiri. Segla sesuatu memiliki makna. Dan saat makna itu kupahami, aku merasa bahagia. Ya, itulah kebahagiaanku kini.

Realitas tidak lagi sekedar realita. Realita bukanlah apa yang kulihat apa adanya. Realita sejati adalah apa yang kulihat dibalik realita.

“Ya, dunia ini bagaikan mimpi. Aku sedang bermimpi. Mimpi yang tampak sangat nyata. Mataku tidak hanya sepasang melainkan dua pasang.”

Dan, waktu terus berjalan. Waktuku mungkin tidak akan lama lagi. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah apa yang kujalani hari ini. Sudahkah kulakukan yang terbaik?

“Kita hanya hidup sekali.” Begitu yang sering kudengar dari mulut orang-orang.

“Kenapa kita tidak menikmati saja hidup ini? Mari kita bersenang-senang!” kata mereka kemudian.

“Seperti apa?” kataku, “Seperti pesta, mabuk dan dansakah… ?”

“Ya, nikmatilah dunia,” jawab mereka lagi.

“Tetapi, dimana letak kebahagiaannya? Aku tidak merasa bahagia dengan itu, ” teriakku, “Lupa, lupa sejenak dengan penat dunia bukanlah sebuah kebahagiaan untukku.”

“Lalu, apa kebahagiaan itu menurutmu?” tanya mereka lagi.

“Kebahagiaan adalah saat engkau dapat memandang wajah orang-orang yang engkau kasihi. Dan sebelum, saat dan sesudahnya kau juga melihat wajah pengasih, yang membuatmu sadar bahwa engkau sedang bermimpi, dan membuatmu bangun dan melihat masalah dunia laksana setitik debu yang tertiup angin,” kataku.

“Ya, tetapi itu hanya sekejap,” kata mereka lagi.

“Ya memang. Tetapi sekali engkau mencicip setetes madu, kau akan selalu mengenang manisnya tatkala mencicip jutaan tetes empedu. Kau tidak akan pernah lupa dan selalu merindukannya.”

Mereka terdiam dan pergi.

Senyum. Itulah yang diajarkan kebahagiaan kepadaku. Tersenyum selalu, itulah tanda bahwa aku bahagia. Orang senantiasa melihatku tersenyum. Aku senantiasa ingin tersenyum. Melihat semuanya dengan cinta dan kasih.

“Tidakkah tuhan itu maha pengasih? Bukan hal aneh jika aku selalu tersenyum. Aku hanya ingin mencontoh yang maha pengasih.”

Dan, rasa duka senantiasa hinggap tatkala aku merasa tidak puas. “Anak-anakku adalah beban,” ujarku dalam hatiku suatu kali, saat penat memuncak.

“Tidak, mereka adalah teman. Jadikan mereka temanmu. Teman bermain, teman menumpahkan pandangan saat layu. Teman untuk berbagi rasa.”

Dan senyumku yang termahal adalah untuk keluargaku. Aku mungkin tersenyum untuk orang lain, tetapi senyumku pada anak-anakku saat mereka merajuk, itulah senyum kepasrahanku.

Dan saat mereka membalas senyumanku, itulah saat kebahagiaanku. Senyum mereka, yang tak lepas sampai aku tua renta.

Ah, waktu semakin menipis. Kisah sederhana ini akan segera berakhir. Mungkinkah bernegosiasi dengan sang waktu?

Bagaimana sebuah kesederhanaan dan rutinitas ini mengantarkan aku pada kebahagiaan?

“Omong kosong!” kata mereka yang mendengarkan.

“Ya, mungkin hanya omong kosong,” kataku, “Menurut perkiraanmu.”

“Tidak!” kataku, “biarkan terjadi, apa yang seharusnya terjadi.” Anak-anakku akan seperti Arthur, dengan bonekanya, sisirnya dan pedangnya. Bermetamorfosis, melalui ulat, kepompong dan kupu-kupu. Karena akupun juga akan begitu. ada saat datang dan ada saat pergi.

Biarkanlah, apa yang seharusnya terjadi. Dan aku akan menjadi sesuai apa yang seharusnya terjadi dan kujalani di dalam dunia kehidupanku.

Waktu berakhirku akan tiba tanpa disangka-sangka. Dan aku tidak akan dapat bersembunyi.

Biarlah kuceritakan kembali kisah seorang penyendiri di saat sesudah kisahku berakhir di dunia ini.

Kau ingin ikut? Bacalah dirimu anakku, dan taatilah juga ibumu ini, karena doaku sebagai ibu, akan sangat berarti dan melindungi kehidupanmu.

Aku menutup diariku. Ya, telah berakhir.[]

No comments: