Saturday, April 21, 2007

Aqidah, Syariah dan Akhlak Dalam Islam

Aqidah adalah bentuk jamak dari kata Aqaid, adalah beberapa perkara yang
wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi
keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan. Aqidah adalah
sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan
akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati,
dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

Aqidah dalam Al-Qur’an dapat di jabarkan dalam surat (Al-Maidah, 5:15-16) yg
berbunyi “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab
yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”

“Dan agar orang-orang yg telah diberi ilmu meyakini bahwasannya Al-Qur’an
itulah yg hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya
dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yg beriman
kepada jalan yang lurus.” (Al-Haj 22:54)

Aqidah, syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.

Muslim yg baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg
mendorongnya untuk melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga
tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya.

Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.

Aqidah, syariah dan ak

Wednesday, April 11, 2007

Kembali Kepada Allah


Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.

Begitulah caranya!

Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!



Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.

Begitulah caranya!

Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!

Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu.”

Metamorfosa Seorang Wanita

Oleh Dwi Urika Prihartini, 2006.


Ada dua hal yang pasti dalam hidupku yaitu saat kelahiranku dan saat kematianku. Yang belum aku ketahui adalah kejadian sebelum kelahiranku, yang mungkin tidak akan pernah dapat kuingat, saat aku berada dalam rahim ibuku, dan saat sebelum itu. Lalu kejadian antara kelahiran dan kematianku, yang sedang kujalani saat ini. Setiap detiknya waktu selalu ditambahkan, tidak ada kesempatan mundur. Dan terakhir adalah kejadian sesudah kematianku, sesuatu yang belum aku jalani dan aku takuti.

Kini, aku sedang menjalani kehidupan. Terjebak dalam lingkaran ruang dan waktu. Di atas bumi dan hitungan dua puluh empat jam sehari, yang dibagi-bagi dalam beberapa segmen pekerjaan dan rutinitas yang harus kujalani.

Bosan! Sebenarnya, apa yang sedang kujalani ini? Sesuatu yang absurd. Kesepian dan kegelisahan ada dimana-mana. Wajahku bertahta di setiap muka yang kutatap. Apa yang kucari di kehidupan ini? Kebahagiaan? Seperti apakah kebahagiaan itu. Apa yang membuatku bahagia. Aku menutup buku diariku. Kuputuskan untuk tidak membukanya lagi sebelum ?aku memperoleh sebuah jawaban. Jika tidak, aku akan menulis hal yang sama berulang-ulang. Kembali aku bergulat dengan rutinitas sehari-hari, sebagai ibu rumah tangga. Ya, aku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tetapi sebagai apapun aku, tidak akan dapat menyembunyikan apa yang ada di dalam batinku, pertanyaan-pertanyaanku.

Malam ini, anak-anakku telah tidur semenjak sore. Suamiku masih terpekur di dalam buku dan penanya. Sejenak aku menatapnya. Ada sesuatu yang berubah dalam caraku memandangnya kini. Tidak seperti dulu, saat kami masih belum menikah. Saat itu, getaran selalu muncul saat aku memandangnya. Dan saat kami bersentuhan tanpa sengaja, panas dingin terasa. Tetapi kini, sentuhan dan pandangan telah menjadi hal yang biasa, bukan sesuatu yang menggetarkan lagi. Tetapi, ada sesuatu yang baru. Cinta kami telah bermetamorfosa sedemikian hingga lebih rumit untuk dijelaskan, tetapi lebih sederhana. Anak-anak kami telah menyatukan kami, untuk lebih saling mengerti. Anak-anak kami menjadi sarana bagi kami untuk berkaca dan memperbaiki diri. Anak-anak kami menjadi cermin tentang siapa kami. Melalui dia, aku memahami bagaimana menjalani kehidupan. Kesadaran tentang kesendirian di satu sisi, dan kenyataan tentang adanya suami dan anak-anakku, membantuku untuk memahami kesendirian.

Aku terus berubah. Musik tentang cinta, tidak lagi indah di telingaku.

“Itu semu!” kataku dalam hati. Bukan, bukan musik yang mampu meluapkan kebahagiaanku.

Di tengah pusat perbelanjaan. Orang-orang berlalu lalang. Di mall, di jalan-jalan, di pertokoan, dengan uangnya, perhiasannya, bajunya, belanjaannya.

Sementara aku, dengan sejumlah uang di tangan. Mungkinkah meraih semua yang kuinginkan?

“Tidak!” kataku dalam hati. “Disini aku dibatasi. Disini aku serba terbatas. Bukan ini yang membuatku bahagia. Hanya keletihan.”

Kembali dengan hari-hari rutinku. Apa yang kuperoleh dari rutinitas? Mengapa aku mau menjalaninya? Rutinitas seorang ibu rumah tangga. Tak seorangpun yang akan menganggapnya istimewa.

“Tapi, aku terjebak di sini. Haruskah aku meninggalkan ini, lalu berkelana mencari jawaban pertanyaanku? Mengapa sang penyendiri digabungkan dengan kesibukan ini?”

Tiba-tiba aku terperanjat. Apa yang sedang aku lakukan? Siapakah sebenarnya aku? Darimanakah datangku? Kemanakah aku akan pergi?

Ya. Aku disini, dengan kesibukanku. Semua orang akan melihatnya begitu. tetapi hati dan pikiranku, selalu berkelana untuk mencari sesuatu.

“Tidakkah aku lelah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Dan jasadku berjalan dalam rutinitasnya. Apa sebenarnya maksud dari semua ini?”

Ya, aku lelah. Aku ingin berhenti sejenak dari pikiranku.

Pernah aku mencoba menelusuri, saat-saat sebelum kelahiranku. Apakah aku dapat dibilang ada pada saat itu? Dimanakah aku pada saat itu? Dan kini, seberapa ada-kah aku? Dan jika aku telah mati, apa yang akan terjadi? Apakah aku masih ada? Ataukah benar-benar tiada, seperti debu yang tertiup angin. Kalau memang begitu, lebih baik aku tidak pernah ada. Tetapi aku ada, hari ini.

Lorong tak berujung. Pertanyaan sebelum, dan sesudah keberadaanku. Aku menyerah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah, tentang adanya rahasia. Aku pasrah, bahwa sebelum dan sesudah itu ada dalam genggaman rahasia. Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menolongku, karena mereka semua sama seperti aku. Aku akan mengikuti jalan Tuhan.

Dan demikianlah aku kini. Aku mencoba menjalani jalan Tuhan. Itu terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan sejak itu pula, aku memang tetap sendirian, tetapi aku mempunyai harapan. Dan harapan itu pula yang selalu diucapkan oleh Tuhan. Dan, sejak bertahun-tahun pula, aku mulai berubah.

“Aku memang sendiri, berjalan di kehidupan ini. Tetapi kini, aku mempunyai cermin. Cermin itu adalah para pejalan yang sendiri,” tulisku dalam diariku lagi.

“Aku mulai masuk ke dalam gerbang jawabannya.”

Dan, suami dan anak-anakku adalah para pejalan yang kulihat sebagai cermin. Dengan cermin itu, ruang sempit kesendirianku menjadi semakin luas, dan bahkan menjadi begitu luas. Setiap saat, cermin itu bertambah dalam diri orang-orang dan segala sesuatu yang kutemui.

Aku menjadi seorang penyendiri yang tidak sendiri. Segla sesuatu memiliki makna. Dan saat makna itu kupahami, aku merasa bahagia. Ya, itulah kebahagiaanku kini.

Realitas tidak lagi sekedar realita. Realita bukanlah apa yang kulihat apa adanya. Realita sejati adalah apa yang kulihat dibalik realita.

“Ya, dunia ini bagaikan mimpi. Aku sedang bermimpi. Mimpi yang tampak sangat nyata. Mataku tidak hanya sepasang melainkan dua pasang.”

Dan, waktu terus berjalan. Waktuku mungkin tidak akan lama lagi. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah apa yang kujalani hari ini. Sudahkah kulakukan yang terbaik?

“Kita hanya hidup sekali.” Begitu yang sering kudengar dari mulut orang-orang.

“Kenapa kita tidak menikmati saja hidup ini? Mari kita bersenang-senang!” kata mereka kemudian.

“Seperti apa?” kataku, “Seperti pesta, mabuk dan dansakah… ?”

“Ya, nikmatilah dunia,” jawab mereka lagi.

“Tetapi, dimana letak kebahagiaannya? Aku tidak merasa bahagia dengan itu, ” teriakku, “Lupa, lupa sejenak dengan penat dunia bukanlah sebuah kebahagiaan untukku.”

“Lalu, apa kebahagiaan itu menurutmu?” tanya mereka lagi.

“Kebahagiaan adalah saat engkau dapat memandang wajah orang-orang yang engkau kasihi. Dan sebelum, saat dan sesudahnya kau juga melihat wajah pengasih, yang membuatmu sadar bahwa engkau sedang bermimpi, dan membuatmu bangun dan melihat masalah dunia laksana setitik debu yang tertiup angin,” kataku.

“Ya, tetapi itu hanya sekejap,” kata mereka lagi.

“Ya memang. Tetapi sekali engkau mencicip setetes madu, kau akan selalu mengenang manisnya tatkala mencicip jutaan tetes empedu. Kau tidak akan pernah lupa dan selalu merindukannya.”

Mereka terdiam dan pergi.

Senyum. Itulah yang diajarkan kebahagiaan kepadaku. Tersenyum selalu, itulah tanda bahwa aku bahagia. Orang senantiasa melihatku tersenyum. Aku senantiasa ingin tersenyum. Melihat semuanya dengan cinta dan kasih.

“Tidakkah tuhan itu maha pengasih? Bukan hal aneh jika aku selalu tersenyum. Aku hanya ingin mencontoh yang maha pengasih.”

Dan, rasa duka senantiasa hinggap tatkala aku merasa tidak puas. “Anak-anakku adalah beban,” ujarku dalam hatiku suatu kali, saat penat memuncak.

“Tidak, mereka adalah teman. Jadikan mereka temanmu. Teman bermain, teman menumpahkan pandangan saat layu. Teman untuk berbagi rasa.”

Dan senyumku yang termahal adalah untuk keluargaku. Aku mungkin tersenyum untuk orang lain, tetapi senyumku pada anak-anakku saat mereka merajuk, itulah senyum kepasrahanku.

Dan saat mereka membalas senyumanku, itulah saat kebahagiaanku. Senyum mereka, yang tak lepas sampai aku tua renta.

Ah, waktu semakin menipis. Kisah sederhana ini akan segera berakhir. Mungkinkah bernegosiasi dengan sang waktu?

Bagaimana sebuah kesederhanaan dan rutinitas ini mengantarkan aku pada kebahagiaan?

“Omong kosong!” kata mereka yang mendengarkan.

“Ya, mungkin hanya omong kosong,” kataku, “Menurut perkiraanmu.”

“Tidak!” kataku, “biarkan terjadi, apa yang seharusnya terjadi.” Anak-anakku akan seperti Arthur, dengan bonekanya, sisirnya dan pedangnya. Bermetamorfosis, melalui ulat, kepompong dan kupu-kupu. Karena akupun juga akan begitu. ada saat datang dan ada saat pergi.

Biarkanlah, apa yang seharusnya terjadi. Dan aku akan menjadi sesuai apa yang seharusnya terjadi dan kujalani di dalam dunia kehidupanku.

Waktu berakhirku akan tiba tanpa disangka-sangka. Dan aku tidak akan dapat bersembunyi.

Biarlah kuceritakan kembali kisah seorang penyendiri di saat sesudah kisahku berakhir di dunia ini.

Kau ingin ikut? Bacalah dirimu anakku, dan taatilah juga ibumu ini, karena doaku sebagai ibu, akan sangat berarti dan melindungi kehidupanmu.

Aku menutup diariku. Ya, telah berakhir.[]

Sunday, April 8, 2007

Saturday, April 7, 2007

Semalam di Cianjur

Kan ku ingat.. di dalam hatiku
Betapa indah semalam di Cianjur
Janji kasih.. yang tlah kau ucapkan
Penuh kenangan yang tak terlupakan

Tapi sayang.. hanya semalam
Berat rasa.. perpisahan
Namunku telah berjanji
Di suatu waktu kita bertemu lagi

Cianjur salah satu kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Barat berpenduduk 1.931.480 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 982.164 jiwa dan perempuan 949.676 jiwa dnegan laju pertumbuhan penduduk 1,48 %. Cianjur adalah sebuah kota kecil (60km dari Bandung), sebuah kota yang sangat dikenal sebagai tanah sunda yang tua, tidak heran kalau musik sunda sendu disebut "cianjuran". Kota kecil ini sejak lama dijadikan transit para pelancong Jakarta - Bandung. Kita semua tahu bahwa perjalanan Jakarta - Bandung saat itu bisa ditempuh hanya dalam waktu 4 - 5 jam tanpa jalan tol. Artinya perjalanan ini bukan rute yang harus bermalam di jalan. Tidak lah heran kalau di Cianjur sedikit sekali penginapan.

Kembali ke lagu di atas adalah lirik lagu "Semalam Di Cianjur" dinyanyikan oleh Alfian. Kalau kita perhatikan lirik lagu yang satu ini kayaknya si pelantun lagu sedang dalam perjalanan, entah dari atau ke Bandung / Jakarta. Inti dari lagu tersebut adalah si pelantun ini mendapatkan kisah romantis di Cianjur.

Penekanan pada judul "Semalam" bisa bermakna ganda : se-malam dalam arti tadi malam, atau se-malam dari arti satu malam. Untuk lagu ini jika diperhatikan secara keseluruhan maka artinya : satu malam.

Ada apa dengan semalam? mengapa bisa "indah"? Sekedar janji kasih? mmm.. rasa-rasanya tidak segitunya deh cuma janji kasih aja butuh semalaman. Apalagi bisa sampai "kenangan yang tak terlupakan". Menurut analisa saya sih, si pelantun ini nginep bersama seorang gadis yang bertemu di Cianjur, akhirnya dia spend the night di Cianjur karena keesokan harinya harus pergi lagi. Apakah tidak mungkin kalau wanita itu teman seperjalanan? Rasanya tidak karena kalimat: "Namunku telah berjanji - Di suatu waktu kita bertemu lagi". Kalau memang teman seperjalanan ya ketemu terus kan.

Lagu ini diciptakan oleh Tetty Kadi sekitar tahun 60-an. Jika merunut pada masa itu, berarti ide lagu ini berceritakan tentang hubungan kasih yang cuma semalam, dengan mengambil istilah sekarang: "one night stand".

Gimana menurut Anda?

Bob Marley - No Woman No Cry

No woman no cry
No woman no cry
No woman no cry
No woman no cry

Cause I remember when we used to sit
In a government yard in Trenchtown
Observing the hypocrites
Mingle with the good people we meet
Good friends we have
Oh, good friends we have lost
Along the way
In this great future,
You can't forget your past
So dry your tears, I seh

No woman no cry
No woman no cry
Little darling, don't shed no tears
No woman no cry

Said I remember when we use to sit
In the government yard in Trenchtown
And then Georgie would make the fire lights
I seh, l would burnin' through the nights
Then we would cook cornmeal porridge
Of which I'll share with you
My feet is my only carriage
And so I've got to push on through,
Oh, while I'm gone

5x
Everything 's gonna be alright

No woman no cry
No woman no cry

I say little darlin'
Don't shed no tears
No woman no cry

Salah Satu Media Iklan Gratis

Selamat Datang di mediabisnis.com | Iklan Gratis Online

Mediabisnis.com adalah media promosi iklan gratis!

Anda dapat memasang Iklan di sini secara gratis! Dilarang keras memasang iklan berbau porno dan sara. Administrator tidak bertanggung jawab semua iklan yang dimuat di dalam web media bisnis.com.

Cara Memasang Iklan di Mediabisnis.com

  • Sebelum anda memasang Iklan anda terlebih dahulu harus mendaftar / Joint Gratis!!
  • Tentukan Media Iklan Anda pada katagori Iklan yang sudah disediakan.
  • Klink Pasang untuk pemasangan Iklan
  • Selamat Beriklan Ria!
  • Anda Kesulitan dalam hal Memasang Iklan Klik Disini!
  • Terima Kasih

Kristenisasi Menyerbu Kampus


Oleh: Herry Nurdi

Kristenisasi di berbagai kampus perguruan tinggi muncul menyeruak. Tapi seperti gunung es, kasus yang nampak sesungguhnya lebih kecil dari apa yang terjadi.

Sebut saja namanya Adam. Ia mahasiswa cerdas asal Sumatera Barat yang lulus ujian saringan masuk ke Institut Pertanian Bogor. Ia berasal dari sebuah keluarga yang sederhana. Untuk membiayai sekolahnya saja, ada banyak hal yang harus dikorbankan keluarga Adam di kampung halaman.

Di kampusnya, Adam terbilang mahasiswa yang cukup berprestasi. Sampai suatu ketika, ia terjebak dalam sebuah situasi yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Adam terbelit urusan dengan jaringan NII yang memang diketahui banyak bermasalah. Seperti kasus-kasus yang lain, NII meminta Adam memberikan infaq dengan jumlah yang terbilang besar untuk ukurannya. Menghadapi situasi seperti ini, meminta bantuan pada orangtua di kampung halaman jelas bukan sebuah pilihan. Alhasil, Adam hanya bisa melamun dan kebingungan.

Pada kondisi seperti itu, tiba-tiba ada seorang mahasiswi Kristen yang menawarkan bantuan kepada Adam dengan segala keramahannya. Tentu saja ia menjelma bak dewa penolong di mata Adam. Tapi ujung dari pertolongan itu membuat Adam seperti terlepas dari mulut harimau, jatuh ke moncong srigala. Ia terjebak dan terkepung dalam usaha Kristenisasi yang mengincar mahasiswa di berbagai kampus.

Awalnya, sang mahasiswi Kristen tampil dengan performance penuh kasih dan penolong. Penampilan seperti itu membuat Adam sedikit demi sedikit bergeser dari simpati menjadi akrab dan tak berjarak. Singkat cerita, Adam pun pindah tempat kos ke lingkungan mahasiswa Kristen di dekat kampus IPB Darmaga, Bogor. Merasa mangsa sudah masuk dalam jebakan, usaha pun kian digalakkan. Tak hanya berpindah tempat kos, Adam bahkan sempat disekap selama lebih dari tiga bulan.

Dalam penyekapan ini, otak Adam benar-benar dicuci. Doktrin-doktrin Kristus dan Injil menjadi santapan sehari-hari. Sedangkan akidah dan ajaran Islam di benak Adam, hilang entah ke mana. Tak hanya didoktrin dan dicuci otaknya, dalam penyekapan ini pun Adam mendapat perlakuan tak senonoh dari orang-orang yang menyebut dirinya “penyelamat domba-domba”. Adam disodomi, entah berapa kali.

Selepas dari penyekapan, Adam benar-benar menjadi “manusia baru”. Ia tak hanya berpindah agama, tapi sudah menjadi penginjil yang militan. Sebagai penginjil baru, beberapa kampus sempat menjadi ladang misinya. Ia sempat menjalankan tugas di Universitas Diponegoro, Universitas Jenderal Sudirman, Surabaya, Malang dan beberapa universitas lain di Pulau Jawa.

Tapi alhamdulillah, kini Adam telah insaf. Ia mendapat hidayah Allah dan kembali pada jalan yang benar. Kini ia kembali dan menetap di kampung halaman, Sumatera Barat.

Lain Adam, lain lagi yang dialami Rahmi, juga bukan nama sebenarnya. Rahmi adalah mahasiswi tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi yang terkenal dengan pendidikan ilmu komputernya di daerah Depok. Suatu ketika, Rahmi diajak mojok oleh seorang mahasiswa Kristen yang ia kenal. Mahasiswa tersebut ngobrol dan menyediakan diri sebagai tempat curhat dan bercerita tentang masalah dan problem yang dihadapi Rahmi. Tapi lama-lama, acara curhat jadi sebuah diskusi tentang agama dan ketuhanan. “Saya lama-lama seperti dihipnotis oleh mahasiswa Kristen itu,” ujar Rahmi pada SABILI.

Pertemuan pertama dilanjut dengan beberapa pertemuan lainnya. Dan akhirnya, dibaptislah Rahmi. Proses pembaptisan itu sendiri dilakukan oleh seorang mahasiswa yang diawasi oleh seorang seniornya. Menurut Rahmi, senior tersebut bertugas memastikan sang junior tak mengalami masalah.

Setelah dianggap telah menjadi seorang Kristiani, Rahmi beberapa kali diajak untuk mengikuti kebaktian dan pembekalan. Mendengarkan ceramah dan kaset-kaset berisi lagu rohani menjadi program dari pemantapan iman yang dijalani Rahmi. Sejak itu, Rahmi menjadi asing dengan teman-temannya yang Muslim, bahkan dengan orangtuanya sendiri.

Masih menurut Rahmi, selain dirinya ada lima teman sekampus yang ia kenal telah berpindah agama. “Lima orang tersebut, termasuk saya, dibaptis oleh satu orang. Jika satu orang mampu membaptis lima orang, saya tidak bisa membayangkan berapa yang sudah mereka baptis jika mempunyai tenaga lebih dari 50 orang,” ujar Rahmi ngeri.

Seperti Adam, Rahmi telah diselamatkan Allah dan kembali memeluk Islam. Tapi sayang, tidak dengan empat orang lainnya. Menurut Rahmi, sebenarnya tidak empat orang yang ia kenal. Ia bercerita, dirinya sempat memergoki daftar nama mahasiswa Muslim yang telah menjadi target dan incaran mereka. Rahmi tak bisa menyebutkan jumlahnya. “Yang jelas banyak banget,” katanya.

Yang membuat Rahmi gerah, para pelaku pemurtadan itu seolah punya keberanian lebih yang luar biasa. “Orang yang membaptis saya hingga saat ini masih berkeliaran di kampus dengan bebasnya. Mereka berlindung di dalam organisasi keagamaan yang ada di kampus,” terang Rahmi.

Masih di Jakarta. Sebuah kampus di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, konon disebut-sebut sebagai sasaran besar yang mahasiswanya menjadi incaran pemurtadan. Sama dengan dua nama sebelumnya, korban pemurtadan di kampus swasta yang terbilang favorit meminta SABILI untuk merahasiakan identitasnya. Sebut saja wanita berumur 26 tahun dengan nama Wati.

Kisah Wati berawal dari masalah keluarga yang ia hadapi. Saat ia menghadapi masalah di dalam keluarganya, ia membutuhkan teman untuk berbagi cerita. Seorang teman pria Wati yang dikenal sebagai seorang Katolik taat, menjadi tempat untuk bercerita. Berawal dari curhat-curhatan, lama-lama hubungan keduanya bertambah akrab. Keakraban ini membuat Wati memilih tinggal di sebuah tempat kos dekat sang pria dan tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya.

Beberapa bulan tinggal berdekatan, pria Katolik tersebut banyak mengenalkan Wati dengan teman-temannya. Mereka berdiskusi tentang agama, tentang tuhan, dan tentang doktrin-doktrin Katolik. Akhirnya, pendek kata, Wati jadi hidup serumah dengan sang pria. Layaknya suami-istri, itulah kehidupan baru yang dijalani Wati.

Selama proses tersebut, tak sedikitpun Wati memberi kabar keberadaannya pada orangtua. Wati menjalani proses bina iman, yang disebut dengan Katekis di sebuah gereja di daerah Slipi. Akhir dari semua proses tersebut, 8 Maret 2002 silam, Wati menemui orangtuanya yang tinggal di bilangan Tebet, Jakarta Selatan untuk meminta izin nikah dan pindah agama. Sang ibu tentu saja shock berat mendengar itu semua dan tak menyetujui niat Wati.

Akhir Oktober tahun lalu, Wati dibaptis dan dinikahkan dalam keadaan hamil di paroki tempatnya dibina. Bahkan menurut pengakuan Wati, kini ia menjalani proses menjadi penginjil untuk mencari domba-domba yang hilang. Selain kasus Wati, ada dua kasus lain di kampus yang sama yang terlacak oleh Tim SABILI. Keduanya menimpa dua orang Muslimah belia yang baru berusia 23 tahun. Satu di antaranya bahkan sempat hilang diculik dan dimurtadkan.

Satu lagi kasus yang lebih mengerikan menimpa keluarga Dwi Suryo di Lampung. Yoppi Aryana, anak gadis yang sedang tumbuh dan berkembang, digarap oleh pelaku Kristenisasi dengan keji saat ia berkuliah di Universitas Lampung. Bak cerita dalam novel-novel detektif, sempat terjadi baku culik antara orangtua Yoppi dan pelaku Kristenisasi yang tampaknya telah mempunyai jaringan yang rapi. Kini Yoppi telah hilang, ditelan monster pemurtadan yang mengerikan. (baca: Hilang Dicaplok Monster)

Mari kita beralih ke Bandung. Berbagai kampus yang tersebar di Kota Kembang ini disebut-sebut menjadi garapan serius para misionaris dan penginjil busuk. Satu di antara yang berhasil SABILI temukan adalah pemurtadan di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI dulu IKIP, red).

Kasus yang terjadi di UPI mencerminkan bahwa gerakan Kristenisasi yang menyerbu kampus-kampus ini memang terorganisir dengan rapi. Cerita ini terkuak agak terlambat, karena beberapa mahasiswa dan mahasiswi di Fakultas Teknik dan Bahasa yang tadinya berjilbab dan menutup aurat tiba-tiba murtad.

Beberapa waktu sebelum peristiwa itu terjadi, ada beberapa orang yang berpenampilan layaknya seorang Muslim bertandang ke kampus dan melakukan dialog. Yang pria mengenakan baju koko, bahkan yang perempuan mengenakan jilbab rapi menutupi auratnya. Salah satu di antara mereka mengaku telah bersyahadat dan disaksikan oleh KH. Miftah Faridl di Pusat Dakwah Indonesia. Ia mengaku mahasiswa lulusan Oxford, Harvard dan beberapa perguruan tinggi terkemuka bertaraf internasional.

Menurut salah seorang sumber SABILI di UPI, orang-orang seperti mereka melaksanakan aksinya dengan mendekati mahasiswa-mahasiswi dan mengajak mereka berdiskusi. Dengan penampilan sebagai seorang Muslim yang mengaku muallaf dan bercerita tentang suka dukanya memeluk Islam, orang-orang seperti ini langsung mendapat simpati. Simpati yang mereka dapat lalu dimanfaatkan sebagai pintu masuk lebih jauh mendekati para mahasiswa.

“Awalnya mereka mengajak diskusi tentang Ka’bah. Kenapa Ka’bah itu disembah? Bukankah sama dengan berhala kalau menyembah Ka’bah? Lalu diskusi pelan-pelan dialihkan menjadi pembahasan tentang Yesus dan sebagainya,” ujar sumber SABILI.

Pelaku permutadan di UPI tersebut sebenarnya sempat ditangkap dan diinterograsi oleh para aktivis dakwah kampus. Tapi ia akhirnya berhasil meloloskan diri dan tak pernah nongol lagi. Beberapa aktivis sempat melacak orang yang mengaku bernama Daniele Andrian Pangestu alias Salman Al Farisi ini. Kabar terakhir yang didapat, ia telah mendekam di dalam sel kepolisian wilayah Cianjur. Konon ia tersangkut masalah penipuan dan menjadi polisi gadungan.

Beberapa kampus lain di Bandung yang diindikasikan terjadi kasus pemurtadakan adalah ITB, STPDN dan STT Telkom. Untuk mengantisipasi kegiatan pemurtadan yang sudah pada tingkat meresahkan di kalangan mahasiswa ini, beberapa aktivis dakwah kampus akhir Maret lalu membentuk sebuah organisasi. Organisasi tersebut bernama JAMAAT atau Jaringan Mahasiswa Anti Pemurtadan yang dideklarasikan di STPDN, 30 Maret 2003.

Penelusuran yang dilakukan SABILI, selain gerakan yang bersifat perorangan ada dua organisasi yang berada di balik aksi pemurtadan di kampus. Organisasi pertama disebut PERKANTAS (Persekutuan Antar Universitas). Yang kedua, LPMI (Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia).

PERKANTAS nyaris tak bisa terdeteksi, selain karena gerakan mereka bersifat di bawah tanah alamat yang digunakan pun hanya Po. Box belaka. Sementara itu, LPMI disebut-sebut bernaung di bawah nama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Namun, Pdt. Natan Setiabudi, Ketua PGI menolak keras LPMI berada di bawah organisasinya. “Kami tidak mengenal LSM itu sama sekali,” terangnya pada SABILI.

Ia juga menerangkan, tak bisa memberikan komentar tentang kasus Kristenisasi yang marak terjadi di kampus. “Bagi saya, informasi itu tidak jelas dan akan semakin menjauhkan kita dari fakta yang sebenarnya jika dibahas. Informasi itu kurang menarik,” ujarnya. Natan menambahkan, karena LPMI tak bersangkut-paut dengan lembaga yang dipimpinnya, maka PGI juga tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan oleh LPMI.

Jika Natan dalam jawabannya mengisyaratkan tak ada gerakan Kristenisasi di berbagai kampus, dan menganggap informasi tersebut tak menarik maka berbeda dengan yang diungkapkan Ustadz Abu Deedat. Kristolog yang aktif menangkal gerakan Kristenisasi ini mengatakan ada gerakan sistematis yang mengancam mahasiswa Muslim di kampus-kampus seluruh nusantara. “Dari kasus-kasus yang saya tangani, mencerminkan gerakan mereka terstruktur dan terorganisir dengan rapi. Hampir di seluruh universitas di Indonesia, baik swasta maupun negeri, terjadi aksi Kristenisasi,” ujar Abu Deedat.

Kampus dengan kasus Kristenisasi yang saat ini sedang ditangani oleh Ustadz Abu Deedat adalah: Universitas Diponegoro di Semarang, Universitas Jenderal Sudirman di Purwokerto, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, ITB, STT Telkom dan STPDN di Bandung. Bahkan menurut Ust. Abud, demikian ia akrab dipanggil, STPDN tergolong sekolah tinggi dengan angka terbesar kasus Kristenisasi di kota Bandung. Selain universitas di Pulau Jawa, ia juga menangani kasus Kristenisasi di Universitas Andalas, Universitas Lampung dan masih banyak lagi.

Menurut Taufiqurohman, salah seorang aktivis FAKTA (Forum Anti Gerakan Pemurtadan) selama ini korban-korban pemurtadan banyak yang terjadi di kampus universitas-universitas swasta. “Di banding dengan perguruan tinggi dan universitas negeri, universitas swasta sepertinya lebih banyak menjadi sasaran aksi Kristenisasi,” terang Taufiqurohman.

Taufiqurohman menambahkan, kasus-kasus yang saat ini muncul dan bisa dideteksi oleh publik sebenarnya adalah fenomena gunung es. “Kasus yang tidak diketahui, sebenarnya jauh lebih besar lagi. Belum lagi ditambah dengan jumlah orang-orang tidak merasa bahwa dirinya korban pemurtadan,” tuturnya. Yang dimaksud korban yang tak merasa jadi korban oleh Taufiqurohman adalah, mereka yang tak menganggap lunturnya akidah atau kawin beda agama sebagai hal yang berbahaya.

Gerakan pemurtadan ini benar-benar tak pandang bulu. Tak hanya di sekolah dan perguruan tinggi umum yang menjadi incaran aksi Kristenisasi. Sekolah-sekolah tinggi Islam seperti IAIN dan Unisba di Bandung pun telah menjadi ladang yang mereka garap pula.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, Ichwan Sam mengatakan, ada pihak-pihak yang telah bermain kayu dan melanggar hukum yang berlaku. “Tapi mereka itu selalu berkelit dan berlindung di bawah hukum internasional yang mengatakan menyebarkan agama dan berpindah agama adalah bagian dari hak asasi manusia,” tandas Ichwan.

Lebih lanjut Ichwan Sam mengatakan, hal mendasar yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah membentengi diri sekuat-kuatnya. “Keluarga harus menjadi gerbang pertama pertahanan akidah dan pemahaman Islam kita. Keluarga harus menjadi benteng utama mempertahankan akidah. Setiap anggota keluarga, wajib menjaga anggota keluarganya yang lain dari bahaya yang mengancam akidah,” ujar Ichwan geram.

Ichwan Sam memperingatkan, gerakan-gerakan seperti ini akan terus ada dan selalu mengancam. “Karena itu, keluarga Muslim harus senantiasa waspada,” pesannya.
Ya, aksi Kristenisasi dan gerakan pemurtadan akan selalu ada dan mengancam kita sepanjang zaman. Upaya-upaya menjauhkan Muslim dari ajaran Islam akan terus dilancarkan oleh musuh-musuh Allah. Dan untuk insan kampus, sebentar lagi tahun ajaran baru akan dimulai. Tahun ajaran baru berarti mahasiswa baru. Mahasiswa baru sama dengan mangsa baru untuk mereka. Waspadalah! (sabili)

Sekilas Kabupaten Cianjur

Cianjur dikenal dan lekat dengan pameo ngaos, mamaos dan maenpo. Ngaos adalah tradisi mengaji sebagai salah satu pencerminan kegiatan keagamaan. Mamaos adalah pencerminan kehidupan budaya daerah dimana seni mamaos Tembang Sunda Cianjuran berbibit buit ( berasal )dari tatar Cianjur. Sedangkan maenpo adalah seni beladiri tempo dulu asli Cianjur yang sekarang lebih dikenal dengan seni beladiri Pencak Silat.

Luas wilayah Kabupaten Cianjur 350.148 hektar dengan jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) 2000 berjumlah 1.931.840 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,11 %.

Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 62,99 %. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan yaitu sekitar 14,60 %. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Cianjur yaitu sekitar 42,80 % disusul sektor perdagangan sekitar 24,62%.


Sawah nan subur : Sebagai daerah agraris Kab.Cianjur
Merupakan penghasil padi berkualitas.

Secara administratif Pemerintah kabupaten Cianjur terbagi dalam 26 Kecamatan ,335 Desa dan 6 Kelurahan di wilayah kota Cianjur, dengan batas-batas administratif :

  1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta.
  2. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi.
  3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
  4. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.

Secara geografis , Kabupaten Cianjur dapat dibedakan dalam tiga wilayah pembangunan yakni wilayah utara, tengah dan wilayah selatan.

  1. Wilayah Utara

  2. Meliputi 13 Kecamatan : Cianjur, Cilaku, Warungkondang, Cibeber, Karangtengah, Sukaluyu, Ciranjang, Bojongpicung, Mande, Cikalongkulon, Cugenang , Sukaresmi dan Pacet.

  3. Wilayah Tengah

  4. Meliputi 7 Kecamatan : Sukanagara, Takokak, Campaka, Campaka Mulya, Tanggeung, Pagelaran dan Kadupandak.

  5. Wilayah Selatan

  6. Meliputi 6 Kecamatan : Cibinong, Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun , Naringgul dan Cikadu.

Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.

Sebagai daerah agraris yang pembangunananya bertumpu pada sektor pertanian, kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi padi pertahun sekitar 625.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih, masih memperoleh surplus padi sekitar 40 %. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur.

Kecuali di Kecamatan Pacet dan Sukanagara. Di kedua Kecamatan ini, didominasi oleh tanaman sayuran dan tanaman hias. Dari wilayah ini pula setiap hari belasan ton sayur mayur dipasok ke Jabotabek.


Panen Raya : Kerja keras yang tak pernah sia - sia.

Pengembangan usaha perikanan air tawar dan laut di Kabupaten Cianjur cukup potensial. Baik untuk usaha berskala kecil maupun besar. Beberapa faktor pendukungnya adalah : jumlah penduduk yang relatif besar serta tersedianya lahan budi daya ikan air tawar dan ikan laut. Usaha pertambakan ikan dan penagkapan ikan laut memiliki peluang besar di wilayah Cianjur selatan, khususnya di sepanjang pantai Cidaun hingga Agrabinta. Di wilayah ini, mulai dirintis dan di kembangkan pertambakan budi daya udang. Sedangkan budi daya ikan tawar terbuka luas di cianjur utara dan cianjur tengah. Di wilayah ini terdapat budi daya ikan hias, pembenihan ikan, mina padi, kolam air deras dan keramba serta usaha jaring terapung di danau Cirata, yang sekaligus merupakan salah satu obyek wisata yang mulai berkembang.


Petani Bunga : Untuk menggunting dan merangkai setangkai
Bonsai pun diperlukan kelembutan Berkat ketekunan
tercipta Bonsai dengan harga yag relatif mahal.



Setiap jengkal tanah adalah bunga,
banyak terdapat di wilayah Cipanas Kecamatan Pacet..

Sementara itu , potensi perkebunan di Kabupaten Cianjur cukup besar dimana sekitar 19,4 % dari seluruh luas merupakan areal perkebunan . Selama in dikelola oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 10.709 hektar, Perkebunan Besar Swasta (PBS) sekitar 20.174 hektar dan Perkebunan Rakyat (PR) seluas 37.167 hektar. Peningkatan produksi perkebunan, terutama komoditi teh cukup baik. Produktivitas teh rakyat mampu mencapai antara 1.400 - 1.500 kg teh kering per hektar. Sedangkan yang di kelola oleh perkebunan besar rata-rata mencapai di atas 2.000 kg per hektar. sumber : http://cianjur.go.id

Godaan Politik Kaum Santri

Gerakan santri di ranah politik praktis tersebut, mengundang beberapa pertanyaan. Benarkah para santri pondok pesantren bersatu bulat mendukung capres-cawapres pilihan mereka? Begitu pula, sejauh mana efektifitas gerakan politik kaum sarungan tersebut. Mungkinkah, misalnya, mereka berani berseberangan dengan pilihan politik kiainya?

Pada pemilu presiden dan wakil presiden 5 Juli yang lalu, terdapat beberapa fenomena yang amat menarik. Salah satunya, aksi dukung-mendukung yang dilakukan kaum santri —para pelajar di sebuah pondok pesantren— terhadap beberapa kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). “Permainan” para pelajar bersarung di kancah politik praktis ini merupakan sebuah fenomena yang tidak diperhitungkan dan dibayangkan sebelumnya, oleh siapa pun termasuk oleh kalangan mereka sendiri. Jangan-jangan, apa yang mereka lakukan melampaui imajinasi yang pernah terselip di pikiran mereka sendiri.

Gerakan dukung-mendukung para pelajar dari pesantren itu, paling tidak, menjelma menjadi dua bentuk. Pertama, gerakan fisik yang berbentuk sebuah organisasi gerakan. Misalnya, beberapa santri yang mengaku dari 11 pondok pesantren besar di Jawa Timur membentuk Barisan Santri Pendukung Wiranto-Gus Sholah (BSPWGS) dan Asosiasi Santri Indonesia (ASI) yang beranggotakan para santri dari 100 pondok pesantren, mendukung Mega-Hasyim. Kedua, gerakan non fisik. Umpamanya, sebuah forum “bahtsul masail” di Pasuruan yang diikuti kaum santri dari 22 pondok pesantren se-Jawa Timur, yang menyimpulkan calon presiden perempuan haram dipilih (Kompas, 5 Juni 2004).

Gerakan santri di ranah politik praktis tersebut, mengundang beberapa pertanyaan. Misalnya, benarkah klaim mereka yang menyatakan, kelompok tersebut terdiri dari para santri pondok pesantren dan secara otomatis semua santri bersatu bulat mendukung capres-cawapres pilihan mereka? Pertanyaan ini penting saya ajukan, sebab kadang-kadang klaim mereka berlebihan dan mengada-ada. Misalnya, BSPWGS mengklaim didukung oleh beberapa santri di ponpes besar di Jawa timur, termasuk oleh Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafiiyah (IKSASS) Situbondo. Ternyata klaim tersebut tidak benar dan dibantah oleh Pengurus Pusat IKSASS.

Begitu pula, sejauh mana efektifitas gerakan politik kaum sarungan tersebut. Mungkinkah, misalnya, mereka berani berseberangan dengan pilihan politik kiainya? Umpamanya, efektifkah seruan anggota BSPWGS yang mengaku berasal dari Ponpes Sidogiri Pasuruan kepada rekan-rekannya; sedangkan kiai mereka, KH. A. Nawawi A. Jalil —walaupun secara pribadi— menyerukan mendukung Megawati-Hasyim Muzadi?

Saya kira, gerakan tersebut tidak begitu efektif dan berpengaruh bahkan tidak ada artinya apa-apa bila bertentangan dengan “karso” sang kiai. Mengapa? Pertama, karena hubungan kiai-santri merupakan hubungan patron-client yang bersifat personal dan didukung alasan keagamaan. Kiai di mata santri dianggap sebagai bapak, guru, bahkan “tuan” yang disucikan. Segala titah dan perintah kiai harus ditaati. Inilah salah satu kunci, bila sang santri ingin memperoleh ilmu yang barokah dan bermanfaat; sebagaimana tertuang dalam kitab Ta’llim al-Muta’allim. Kedudukan kiai di mata santri tradisional adalah setimpal dengan kedudukan mursyid di mata murid tarekat. Bahkan secara “ekstrem” mereka mengajukan dalil dari Sayyidina Ali yang mengatakan, ia rela menjadi budaknya orang yang pernah mengajarinya, walaupun hanya mengajari satu huruf.

Kedua, komunitas santri berada di masyarakat tradisional yang bersifat paternalistik. Sikap ini, menurut Sukamto dalam “Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren”; karena kuatnya ikatan primordial, kehidupan yang komunalistik, pengaruh adat yang kuat, kokohnya hubungan pribadi, dan adanya extended family system. Kiai sebagai pemilik pesantren, mempunyai otoritas kekuasaan penuh dalam mewarnai pesantrennya. Karena itu, tidak ada seorang pun santri yang menentangnya. Jangan heran, bila seorang santri berani berbeda pandangan dan tindakan dengan kiainya, akan dicap sebagai “santri durhaka” yang patut disisihkan dari pergaulan sesama santri.

Hal ini kadang-kadang juga “diperparah” oleh sikap kiai yang kerap dianggap kurang demokratis di mata santrinya. Memang, potret kiai pesantren yang utuh, sebagaimana disinyalir KH. Cholil Bisri, di hadapan orang lain bisa menunjukkan sikap yang amat demoktratis, tapi di hadapan santrinya kerap bersikap doktriner dan kurang demokratis.

Ketiga, kebanyakan kaum santri yang menetap di pondok pesantren masih belia. Kaum santri yang mempunyai hak pilih di sebuah pesantren, tidak lebih dari 50%. Apalagi bila suatu pesantren tidak memiliki lembaga pendidikan SLTA dan perguruan tinggi, saya yakin, santri yang memiliki hak pilih tidak dari 30% saja. Saya ambil contoh di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, salah satu pesantren terbesar di Indonesia. Santri yang berusia 16-20 tahun sebanyak 48,7% dari 13.304 santri. Santri yang berumur 21-25 tahun sebanyak 10,6%; yang berumur 26-30 tahun sebanyak 1,3%; yang berusia 31-35 tahun sebanyak 0,2% dan yang berusia 36 tahun ke atas hanya 0,1%.

Terlebih lagi, adanya fakta yang menunjukkan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla di Jawa Timur, paling tidak dari perhitungan sementara oleh KPU yang sudah mencapai 80% hingga saat ini atau hasil “quick count” oleh NDI dan LP3ES menunjukkan bahwa pasangan yang tidak pernah didengungkan untuk didukung para santri secara publik justru meraih simpati besar di kantong NU ini. Kedigdayaan PKB dan Golkar pada pemilu legislatif lalu di mana kedua mesin politik besar ini mendukung pasangan Wiranto-Wahid tidak bertaji pada pemilu 5 Juli lalu. Dukungan politis para santri terhadap duet ini hanya bergaung di beberapa kabupaten di daerah tapal kuda seperti Pasuruan, Bondowoso dan Situbondo, itupun dengan selisih yang sangat tipis dengan duet SBY dan Jusuf Kalla.

Begitu pula dukungan santri terhadap duet Megawati dan Hasyim Muzadi malah menunjukkan betapa dukungan kaum santri itu tidak direspon oleh elemen masyarakat lainnya. Buktinya, lagi-lagi, duet SBY dan Jusuf Kalla yang tidak pernah mendapat dukungan politis dari kelompok santri tertentu, justru malah memenangkan pemilu di “kampung halaman” mereka sendiri.

Melihat paparan tersebut, saya kira alangkah bijaknya bila santri jangan ikut tergoda dan terjebak pada ranah politik praktis. Toh masih terdapat satu arena pembuktian lagi untuk menunjukkan netralitas mereka dari godaan politik pada pemilu putaran kedua nanti. Kaum santri hendaknya kembali ke khittahnya —sebagaimana isyarat Alquran surat al-Taubah:122— memperdalam ilmu keagamaan (tafaqquh fi ad-diin) dan kelak, menyebarkan ilmu tersebut di tengah-tengah masyarakatnya.

Para santri memang boleh-boleh saja bermusyawarah dan bermujadalah masalah apa saja. Namun tetap diingat, jangan sampai mereka terseret dalam permainan politik praktis. Biarlah para kiai saja yang “bermain-main” dengan politik praktis. Anda cukup melihat dan merenungkan (serta menikmati) “permainan” mereka. Toh lima-sepuluh tahun lagi Anda pun akan tampil menggantikan mereka!

Pesantren dan Politik

Sebagai lembaga layanan masyarakat, sudah selayaknyalah bila pesantren tidak hanya puas mendengar keluh-kesah rakyat jelata. Pesantren juga dituntut menyampaikan aspirasi umat tersebut ke hadapan umara. Walaupun begitu, tidak berarti semua pengasuh pesantren harus terjun ke dunia politik, apalagi politik praktis; harus dilihat dulu kiai dan pesantrennya.

Sejak menjelang pemilu legislatif hingga pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, pesantren menjadi sorotan beberapa kalangan. Pesantren menjadi ajang rebutan partai politik dan kandidat calon presiden dan wakil presiden. Dari beberapa tulisan selama ini hanya bicara tentang kiai dalam kiprahnya di bidang politik tidak menyorot keberadaan pesantren sebagai institusi atau lembaga. Tulisan ini bermaksud menyorot keberadaan pesantren sebagai institusi yang kadang-kadang “dimanfaatkan” pengasuhnya untuk mendukung kepentingan politiknya.

Kalau kita tilik ke belakang dan merujuk kepada isyarat al-Qur’an Surat at-Taubah: 122; maka pondok pesantren mempunyai peran sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tafaqquh fi ad-dien) dan sebagai lembaga layanan sosial kemasyarakatan (dakwah). Peran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu keagamaan dan nilai-nilai kesantunan ini tidak begitu disorot oleh para politisi, kecuali oleh para pemerhati pendidikan. Namun peran pesantren sebagai lembaga dakwah yang berhubungan dengan kemasyarakatan, sangat menarik perhatian para politisi sebagai bidikan pengangkat “suara politiknya”.

Mengapa? Karena kiai, sebagai pengasuh pesantren, mempunyai karisma yang luar biasa di mata santri dan masyarakat sekitarnya. Dalam pengamatan Hermawan Sulistyo, kiai memegang monopoli interpretasi atas dunia di luar pesantren dan monopoli suara kolektif pesantren ke dunia luar. Dengan berbasis keagamaan santri dan masyarakat akan mendengar titah dan patuh (sam’an wa thaatan) kepada kiai. Mereka cenderung irasional.

Para politisi pun tidak akan menganggap remeh kepada pesantren besar yang berumur puluhan tahun, yang menelorkan ratusan ribu, bahkan jutaan santri yang sudah menjadi tokoh masyarakat dan memiliki pesantren. Terlebih lagi, sebagaimana penelitian Zamaksyari Dhofier, ternyata pesantren-pesantren besar di Jawa masih mempunyai hubungan kekerabatan.

Di lain pihak, kalangan pesantren dalam menjalankan perannya sebagai lembaga dakwah juga terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, pesantren yang lebih menitikberatkan pendekatan sosio-kultural. Pesantren ini cenderung “tertutup” dan “tidak bersedia” pesantrennya dikunjungi elite politik dan pejabat pemerintahan. Umpamanya, Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Tradisi yang dibangun para kiai pesantren ini “menutup diri” dari kancah politik, terutama politik praktis.

Kelompok kedua, pesantren yang terbuka kepada politik, bahkan ada pula yang terlibat langsung dengan politik praktis. Kelompok ini membuka pintu (lebar-lebar) kepada para elite politik atau pejabat pemerintahan. Pengasuh pesantren juga bersedia berkunjung ke kediaman mereka.

Paling tidak ada tiga alasan yang melatarbelakanginya. Pertama; alasan historis yaitu tradisi yang dirintis pendiri pesantren tersebut memang terbuka kepada siapa saja, termasuk kepada para elite politik dan pejabat teras. Misalnya; Kiai Ahmad Fawaid As’ad, pengasuh PP “Salafiyah Syafi’iyah” Sukorejo Situbondo yang meneruskan tradisi kakek dan abahnya, yang mendirikan pesantren Sukorejo. Kiai Syamsul Arifin —kakek Kiai Fawaid— bersedia menerima kedatangan Van der Plas (Gubernur Hindia Belanda Jawa Timur), Abdul Hamid Ono (pembesar Jepang), dan Panglima Divisi VII Untung Suropati Malang-Besuki. Atau Kiai As’ad —abah Kiai Fawaid— yang menerima elite parpol dan pejabat teras, dari petinggi sampai presiden.

Kedua, alasan teologis. Sebagian kalangan pesantren menganggap politik bisa dijadikan sebagai salah satu alat perjuangan dan mempermudah dakwah mereka. Mereka berpendapat, partai politik sebagai alat perjuangan yang berlandaskan kepentingan umum (mashlahah al-’ammah), bukan kepentingan kelompok, apalagi pribadi. Bukankah politik pada hakikatnya adalah seni dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan publik?

Memang salah satu fungsi parpol adalah merebut kekuasaan. Kekuasaan perlu diraih untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, demokratis, aman, dan sejahtera. Jika tujuan tersebut tidak bisa dicapai tanpa melalui kekuasaan —yang untuk mendapatkannya harus melalui partai politik— maka mendukung partai politik menjadi penting. Dalam salah satu term fiqh dikatakan “Lilwasail hukmu al-maqashid (suatu proses status hukum, sangat tergantung kepada sasaran yang hendak dicapai)”.

Ketiga, alasan strategis-pragmatis. Agar pesantren mempunyai kekuatan dan jaringan dengan kekuasaan. Sebab pesantren yang mempunyai basis massa yang jelas dan kuat, kalau kekuatannya tidak dimanfaatkan, akan terbuang percuma begitu saja. Karena itu harus ada tawar-menawar politik dan membangun “kontrak politik” dalam pengertian yang sangat pragmatis.

Sebagai lembaga layanan masyarakat, sudah selayaknyalah bila pesantren tidak hanya puas mendengar keluh-kesah rakyat jelata. Pesantren juga dituntut menyampaikan aspirasi umat tersebut ke hadapan umara. Sudah selayaknyalah pengasuh pesantren harus menjembatani kepentingan rakyat dan penguasa. Sehingga kehadiran pesantren membawa manfaat untuk semua pihak; oleh pemerintah, kalangan pesantren tidak dianggap sebagai “pemberontak.” Bagi umatnya, pesantren tidak dicap sebagai “antek” pemerintah.

Walaupun begitu, tidak berarti semua pengasuh pesantren harus terjun ke dunia politik, apalagi politik praktis; harus dilihat dulu kiai dan pesantrennya. Kalau kiainya sangat lugu dan tipe sufistik, alangkah baiknya tetap saja di dunia pesantren. Sehingga kelak tidak ada keluhan lagi, “Kiai sering dibujuki!” Begitu pula kalau pesantrennya dikhawatirkan terbengkalai, kiai harus membenahi dulu pesantrennya.

Walhasil, pesantren terjun atau tidak ke dunia politik (apalagi politik praktis) sepenuhnya tergantung pada pengasuhnya. Dan inilah termasuk salah satu keunikan pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus sebagai lembaga layanan sosial kemasyarakatan, yang tidak kita jumpai pada lembaga pendidikan lainnya.

** Penulis adalah Kabiro Penerbitan BP2M Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Situbondo, penulis buku "Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat" (2003) dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

Thursday, April 5, 2007

Ciri-Ciri Wanita Solehah


Tidak banyak syarat yang dikenakan oleh Islam untuk seseorang wanita untuk menerima gelar solehah, dan seterusnya menerima pahala syurga yang penuh kenikmatan dari Allah s.w.t.

Mereka hanya perlu memenuhi 2 syarat saja yaitu:
  • Taat kepada Allah dan RasulNya
  • Taat kepada suami
Perincian dari dua syarat di atas adalah sebagai berikut:

1. Taat kepada Allah dan RasulNya


Bagaimana yang dikatakan taat kepada Allah s.w.t. ?
  • Mencintai Allah s.w.t. dan Rasulullah s.a.w. melebihi dari segala-galanya.
  • Wajib menutup aurat
  • Tidak berhias dan berperangai seperti wanita jahiliah
  • Tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki dewasa kecuali ada bersamanya
  • Sering membantu lelaki dalam perkara kebenaran, kebajikan dan taqwa
  • Berbuat baik kepada ibu & bapa
  • Sentiasa bersedekah baik dalam keadaan susah ataupun senang
  • Tidak berkhalwat dengan lelaki dewasa
  • Bersikap baik terhadap tetangga
2. Taat kepada suami
  • Memelihara kewajipan terhadap suami
  • Sentiasa menyenangkan suami
  • Menjaga kehormatan diri dan harta suaminya selama suami tiada di rumah.
  • Tidak cemberut di hadapan suami.
  • Tidak menolak ajakan suami untuk tidur
  • Tidak keluar tanpa izin suami.
  • Tidak meninggikan suara melebihi suara suami
  • Tidak membantah suaminya dalam kebenaran
  • Tidak menerima tamu yang dibenci suaminya.
  • Sentiasa memelihara diri, kebersihan fisik & kecantikannya serta rumah tangga