Sunday, March 25, 2007

Ibn Warraq

Kehadiran Ibn Warraq bukan hanya meresahkan kalangan Muslim “konservatif,” tapi juga para intelektual dan kalangan Muslim liberal yang selama ini memiliki pandangan kritis terhadap (beberapa doktrin) Islam. Ibn Warraq dianggap telah merusak proyek pembaruan keagamaan yang dilakukan oleh para intelektual Muslim. Apa yang dilakukannya lebih sebagai agenda destruksi ketimbang reformasi.

Sejak beberapa tahun belakangan, studi keislaman dihebohkan oleh hadirnya seorang penulis yang menamakan diri Ibn Warraq. Ini adalah nama samaran sang penulis yang mengaku berasal dari India, melewati masa kecilnya sebagai Muslim, dan kemudian belajar Islam di sebuah universitas ternama di Inggris. Seperti ditulis dalam otobiografinya, Why I am not a Muslim? (1995), Ibn Warraq mengaku telah keluar dari Islam dan memilih jalan agnostis, jika bukan ateis. Kekecewaannya terhadap Islam diekspresikan lewat tulisan-tulisannya yang mengandung semangat kebencian terhadap agama ini.

Kehadiran Ibn Warraq bukan hanya meresahkan kalangan Muslim “konservatif,” tapi juga para intelektual dan kalangan Muslim liberal yang selama ini memiliki pandangan kritis terhadap (beberapa doktrin) Islam. Ibn Warraq dianggap telah merusak proyek pembaruan keagamaan yang dilakukan oleh para intelektual Muslim. Apa yang dilakukannya lebih sebagai agenda destruksi ketimbang reformasi.

Abdullah Saeed, seorang sarjana Muslim asal Australia menganggap Ibn Warraq memiliki pandangan yang keliru (distorted) tentang Islam. Hal inilah yang agaknya membuatnya begitu antipati terhadap agama ini. Sikapnya yang begitu membenci Islam bahkan tak mencerminkan dirinya sebagai murid Montgomery Watt, orientalis yang selalu berusaha bersikap simpatik terhadap Islam.

Ibn Warraq sangat produktif menulis buku yang sebagian besar merupakan kumpulan tulisan dari beberapa karya orientalis abad ke-19 dan ke-20. Kendati ada beberapa tulisan orientalis yang simpatik terhadap Islam, Ibn Warraq lebih memilih tulisan-tulisan mereka yang antagonis dan antipati terhadap agama ini.

Dalam karyanya tentang Nabi Muhammad (The Quest for the Historical Muhammad, 2000), Ibn Warraq misalnya mengumpulkan tulisan-tulisan para orientalis yang dikenal sebagai “pencemar dan pembunuh karakter” Muhammad, seperti Henri Lammens, C.H. Becker, Joseph Schacht, dan Lawrence I. Conrad. Pesan yang ingin disampaikan Ibn Warraq sangat jelas, yakni bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi palsu, penipu, tukang kawin, dan seorang pemimpin yang haus darah.

Dalam karyanya yang lain tentang Al-Qur’an (The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam's Holy Book, 1998; dan What the Koran Really Says: Language, Text, and Commentary, 2002), Ibn Warraq juga mengumpulkan tulisan-tulisan orientalis ternama seperti Theodor Noldeke, Leone Caetani, Alphonse Mingana, Arthur Jeffery, David Margoliouth, and Andrew Rippin. Sayangnya, dia menyeleksi tulisan-tulisan mereka semaunya sehingga kerap menghilangkan konteks keseluruhan tulisan-tulisan aslinya. Tujuan dia lagi-lagi untuk menunjukkan sikapnya yang antipati terhadap Al-Qur’an. Mengutip Gibbon dan Carlyle, Ibn Warraq meyakini bahwa Al-Qur’an adalah “incoherent rhapsody of fable,” dan “insupportable stupidity.”

Karya terbarunya, Leaving Islam (2003), juga merupakan kumpulan artikel dan laporan wawancara dia dengan beberapa orang (yang sayangnya semuanya anonim) dari Pakistan dan Bangladesh yang mengklaim telah keluar dari Islam alias murtad. Tujuan Ibn Warraq sangatlah jelas, yakni ia ingin memperlihatkan kepada pembacanya bahwa banyak orang Islam yang tidak tahan memeluk agama ini dan menyatakan diri keluar (murtad). Pokoknya, baginya, menjadi bukan Islam itu lebih baik daripada harus tetap memeluk Islam.

Bukan Reformis

Membaca dan mengikuti karya-karya Ibn Warraq, saya semakin yakin bahwa apa yang sedang dia lakukan sangat berbeda dari apa yang telah dan sedang dilakukan oleh para pembaru Muslim selama ini yang berusaha melakukan kritik-kritik terhadap (beberapa doktrin) Islam tapi dengan tujuan memperbaiki agama ini. Para pembaru Muslim seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, dan Nurcholish Madjid, jelas tidak akan menganjurkan kaum Muslim untuk membenci Islam, apalagi mengajak mereka keluar dari agamanya.

Kekeliruan Ibn Warraq adalah bahwa ia tidak melihat sedikitpun sisi baik dari Islam dan bahkan berusaha mengabaikan bahwa agama ini pernah punya peran positif bagi peradaban manusia. Dia juga tampaknya tidak mengerti bahwa nama “warraq” merupakan salah satu simbol masa kejayaan peradaban Islam. Di masa silam, “warraq” berarti pedagang atau distributor buku yang bertugas menyalin karya-karya para ulama. Buku merupakan ikon peradaban Islam yang sangat penting. Salah seorang warraq ternama adalah Ibn Nadiem, seorang Muslim yang taat dan pengarang kitab terkenal, Al-Fihrist.

Ibn Warraq tampaknya juga tak menyadari bahwa semangat “kritisisme” dalam Islam, seperti yang tampak pada para “pemikir bebas” Muslim seperti Ibn Rawindi, Abu Bakar al-Razi, Al-Ma’arri, dan Ibn Sina bukanlah para penulis yang seenaknya mencaci-maki Islam, apalagi menyatakan diri telah keluar dari Islam. Kritik-kritik mereka adalah kritik membangun sebagai bagian dari tradisi intelektualisme Islam. Karenanya, tak heran jika mereka sendiri kemudian menjadi bagian dari mosaik yang memperindah peradaban Islam.

Beberapa peresensi bukunya, seperti Fred M. Donner, menilai Ibn Warraq “tak jujur.” Saya kira Ibn Warraq bukan cuma tak jujur, tapi kerap tampak naif. Misalnya dia sangat berapi-api mengajak seluruh kaum Muslim keluar dari Islam, tapi sayangnya tak memberikan alternatif apa-apa setelah itu. Buku terbarunya, Leaving Islam, merupakan ikrarnya yang sangat gamblang yang tak lagi membuat para pembacanya ragu-ragu bahwa dia memang membenci Islam dan berusaha menghancurkan citra agama ini dengan segenap kemampuannya.

Bagi saya, jelas ada perbedaan besar antara orang yang ingin mereformasi sebuah tradisi dengan orang yang ingin menghancurkan sama sekali tradisi itu (kendati kedua-duanya kerap memiliki kemiripan dalam hal kekritisan). Reformasi agama hanya mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar tumbuh dan hidup dalam tradisi agama, bukan orang yang menjauh dan berusaha keluar dari tradisi itu, apalagi dilakukan dengan cara-cara yang destruktif.


Berhiaslah Dengan Sunah-Sunah Fitrah

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Ma’had Ilmi)
Dimuroja’ah ulang oleh: Ustadz Aris Munandar

Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah. Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna dan telah mengatur berbagai macam perkara yang akan mendatangkan kebaikan bagi tiap hambanya. Di antaranya, agama ini telah mengajarkan kepada umatnya mengenai sunah-sunah fitrah. Sunah-sunah ini merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Allah tabiatkan pada manusia untuk melakukannya, cenderung kepadanya, menganggapnya sebagai suatu hal yang indah, dan meninggalkannya berarti telah bertolak belakang dengan fitrah manusia atau dapat dikatakan sebagai manusia tidak normal. Maka sangatlah baik sekali jika kita memperhatikan pembahasan berikut ini.

Pengertian Sunah Fitrah

Sunah Fitrah adalah suatu tradisi yang apabila dilakukan akan menjadikan pelakunya sesuai dengan tabiat yang telah Allah tetapkan bagi para hambanya, yang telah dihimpun bagi mereka, Allah menimbulkan rasa cinta (mahabbah) terhadap hal-hal tadi di antara mereka, dan jika hal-hal tersebut dipenuhi akan menjadikan mereka memiliki sifat yang sempurna dan penampilan yang bagus.

Hal ini merupakan sunah para Nabi terdahulu dan telah disepakati oleh syariat-syariat terdahulu. Maka seakan-akan hal ini menjadi perkara yang jibiliyyah (manusiawi) yang telah menjadi tabi’at bagi mereka. (Lihat Shohih Fiqhis Sunah, I/97).

Faedah Mengerjakan Sunah Fitrah

Berdasarkan hasil penelitian pada Al Quran dan As Sunah, diketahui bahwa perkara ini akan mendatangkan maslahat bagi agama dan kehidupan seseorang, di antaranya adalah akan memperindah diri dan membersihkan badan baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. (Lihat Shohih Fiqhis Sunah, I/97).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, bahwa sunah fitrah ini akan mendatangkan faedah diniyyah dan duniawiyyah, di antaranya, akan memperindah penampilan, membersihkan badan, menjaga kesucian, menyelisihi simbol orang kafir, dan melaksanakan perintah syariat. (Lihat Taisirul ‘Alam, 43).

Dalil Sunah Fitrah

Sebagian dari sunah fitrah ini dapat dilihat dari hadits-hadits berikut ini:

1. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ

“Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 258)

2. Hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

“Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur.” (HR. Muslim no. 261, Abu Daud no. 52, At Tirmidzi no. 2906, An Nasai 8/152, Ibnu Majah no. 293)

Meskipun dalam hadits di atas disebutkan sepuluh hal, namun sunah fitrah tidaklah terbatas pada kesepuluh perkara di atas berdasarkan kaedah “Mahfumul ‘adad laysa bil hujjah” yaitu pemahaman terhadap jumlah bilangan tidaklah bisa menjadi hujjah (argumen). Di antara sunah fitrah tersebut adalah:

1. Khitan
2. Istinja’ (cebok) dengan air
3. Bersiwak
4. Memotong kuku
5. Memotong kumis
6. Memelihara jenggot
7. Mencukur bulu kemaluan
8. Mencabut bulu ketiak
9. Membasuh persendian (barojim) yaitu tempat melekatnya kotoran seperti sela-sela jari, ketiak, telinga, dll.
10. Berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), juga termasuk istintsar (mengeluarkan air dari dalam hidung)

Penjelasan Sunah-Sunah Fitrah

Mencukur Bulu Kemaluan (Istihdaad)

Yang dimaksud dengan bulu kemaluan di sini adalah bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan. Dinamakan istihdad (asal katanya dari hadiid yaitu besi-pen) karena hal ini dilakukan dengan sesuatu yang tajam seperti pisau cukur. Dengan melakukan hal ini, tubuh akan menjadi bersih dan indah. Dan boleh mencukurnya dengan alat apa saja, baik berupa alat cukur atau sejenisnya. (Al Mulakhos Al Fiqh, I/37). Bisa -bleep- dilakukan dengan memotong/menggunting, mencukur habis, atau dengan mencabutnya. (Lihat Al Wajiz fii Fiiqhis Sunah wal Kitaabil ‘Aziz, 29 dan Fiqh Sunah, 1/37).

Memotong Kumis dan Merapikannya

Yaitu dengan memotongnya sependek mungkin. Dengan melakukan hal ini, akan terlihat indah, rapi, dan bersih. Dan ini juga dilakukan sebagai pembeda dengan orang kafir, (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 37). Hadits-hadits tentang hal ini terdapat dalam pembahasan ‘memelihara jenggot’ pada bagian selanjutnya.

Memotong Kuku

Yaitu dengan memotongnya dan tidak membiarkannya memanjang. Hal ini juga dilakukan dengan membersihkan kotoran yang terdapat di bawah kuku. Dengan melakukan hal ini akan terlihat indah dan bersih, dan untuk menjauhi kemiripan (tasyabbuh) dengan binatang buas yang memiliki kuku yang panjang. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 38).

Mencabut Bulu Ketiak

Yaitu, menghilangkan bulu-bulu yang tumbuh di lipatan ketiak. Baik dilakukan dengan cara dicabut, digunting, dan lain-lain. Dengan melakukan hal ini tubuh akan menjadi bersih dan akan menghilangkan bau yang tidak enak yang disebabkan oleh keberadaan kotoran-kotoran yang melekat pada ketiak. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 38).

Apakah pada keempat sunah fitrah di atas terdapat batasan waktu untuk memotongnya?

Keempat sunah fitrah ini tidak dibatasi dengan waktu tertentu, tetapi batasan waktunya adalah sesuai kebutuhan. Kapan saja dibutuhkan, itulah waktu untuk membersihkan/memotongnya.

Tetapi sebaiknya hal ini tidak dibiarkan lebih dari 40 hari, karena terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:

وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Kami diberi batasan waktu oleh Rasulullah untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, tidak dibiarkan lebih dari 40 hari.” (HR. Muslim dan selainnya) (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/101).

Berkhitan

Berkhitan (ada yang menyebutnya dengan ‘sunnat’,-pen) adalah memotong kulit yang menutupi kepala/ujung kemaluan bagi laki-laki dan memotong kulit bagian atas kemaluan bagi perempuan. (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/98). Tujuannya adalah untuk menjaga agar di sana tidak terkumpul kotoran, juga agar leluasa untuk kencing, dan supaya tidak mengurangi kenikmatan dalam bersenggama. (Fiqh Sunah, 1/37).

Berkhitan adalah sunah yang telah ada sejak lama sekali. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ

“Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan Al Qodum.” (HR. Bukhari, inilah lafadz yang terdapat dalam Shahih Bukhari yang berbeda dalam kitab Fiqh Sunah, -pen)

Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Qodum di sini adalah alat untuk memotong kayu (kampak) atau suatu nama daerah di Syam. (Lihat Fiqh Sunah, 1/37).

- Hukum khitan

Ada 3 pendapat dalam hal ini:

1. Wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2. Sunah (dianjurkan) bagi laki-laki dan perempuan.
3. Wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /98).

- Wajibnya Khitan Bagi Laki-Laki

Dalil yang menunjukkan tentang wajibnya khitan bagi laki-laki adalah:

1. Hal ini merupakan ajaran dari Nabi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kita diperintahkan untuk mengikutinya. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ibrahim -Al Kholil- berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan kampak.” (HR. Bukhari)

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (An Nahl: 123)

2. Nabi memerintah laki-laki yang baru masuk Islam dengan sabdanya,

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ

“Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan berkhitanlah.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi, dan dihasankan oleh Al Albani). Hal ini menunjukkan bahwa khitan adalah wajib.

3. Khitan merupakan pembeda antara kaum muslim dan Nasrani. Sampai-sampai tatkala di medan pertempuran umat Islam mengenal orang-orang muslim yang terbunuh dengan khitan. Kaum muslimin, bangsa Arab sebelum Islam, dan kaum Yahudi dikhitan, sedangkan kaum Nasrani tidak demikian. Karena khitan sebagai pembeda, maka perkara ini adalah wajib.

4. Menghilangkan sesuatu dari tubuh tidaklah diperbolehkan. Dan baru diperbolehkan tatkala perkara itu adalah wajib. (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /99 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).

- Khitan Tetap Disyariatkan Bagi Perempuan

Adapun untuk perempuan, khitan tetap disyariatkan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, ”Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perempuan juga dikhitan. Adapun hadits-hadits yang mewajibkan khitan, di dalamnya tidaklah lepas dari pembicaraan, ada yang dianggap dha’if (lemah) dan munkar. Namun hadits-hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah.

Jika hadits ini dha’if, maka khitan tetap wajib bagi perempuan sebagaimana diwajibkan bagi laki-laki, karena pada asalnya hukum untuk laki-laki juga berlaku untuk perempuan kecuali terdapat dalil yang membedakannya dan dalam hal ini tidak terdapat dalil pembeda. Namun terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah sunah (dianjurkan) sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka.

Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Asy Syarhul Mumthi’. Beliau mengatakan, “Terdapat perbedaan hukum khitan antara laki-laki dan perempuan. Khitan pada laki-laki terdapat suatu maslahat di dalamnya karena hal ini akan berkaitan dengan syarat sah shalat yaitu thoharoh (bersuci). Jika kulit pada kemaluan yang akan dikhitan tersebut dibiarkan, kencing yang keluar dari lubang ujung kemaluan akan ada yang tersisa dan berkumpul pada tempat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika dipencet/ditekan sedikit akan menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga pakaian dapat menjadi najis. Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah untuk mengurangi syahwatnya. Dan ini adalah suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam rangka untuk menghilangkan gangguan.” (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/99-100 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).

Kesimpulan: Ada perbedaan pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan. Minimal hukum khitan bagi perempuan adalah sunah (dianjurkan) dan yang paling baik adalah melakukannya dengan tujuan sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas yaitu untuk mengurangi syahwatnya.

- Dianjurkan Melakukan Khitan Pada Hari Ketujuh Setelah Kelahiran

Hal ini sebagaimana hadits dari Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqah Hasan dan Husain dan mengkhitan mereka berdua pada hari ketujuh (setelah kelahiran,-pen).” (HR. Ath Thabrani dalam Ash Shogir)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, ”Ada tujuh sunah bagi bayi pada hari ketujuh, yaitu: pemberian nama, khitan,…” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath)

Kedua hadits ini memiliki kelemahan, namun saling menguatkan satu dan lainnya. Jalur keduanya berbeda dan tidak ada perawi yang tertuduh berdusta di dalamnya. (Lihat Tamamul Minnah, 1/68).

Adapun batas maksimal usia khitan adalah sebelum baligh. Sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim: “Orang tua tidak boleh membiarkan anaknya tanpa dikhitan hingga usia baligh.” (Lihat Tamamul Minnah, 1/69).

Sangat baik sekali jika khitan dilakukan ketika anak masih kecil agar luka bekas khitan cepat sembuh dan agar anak dapat berkembang dengan sempurna. (Lihat Al Mulakkhos Al Fiqh, 37). Selain itu, khitan pada waktu kecil akan lebih menjaga aurat, dibanding jika dilakukan ketika sudah besar.

Wednesday, March 21, 2007

Dunia Anak

Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Untuk belajar pun, tak seharusnya orang tua memaksa, supaya belajar tidak menjadi beban/kewajiban. Biarkan mereka tumbuh sesuai fase perkembangan kejiwaannya. Munculnya berita anak lari dari rumah, ingin mencari kebebasan -bahkan dengan menjadi gelandangan atau pengamen cilik- sesungguhnya banyak dipicu masih adanya pemaksaan kehendak orang tua untuk merekayasa masa depan anak-anaknya. Biarkan mereka tumbuh secara alamiah….. STOP kekerasan terhadap anak!

Thursday, March 8, 2007

Pesantrenku Al-Ittihad


AL-ITTIHAD

Pesantren AL ITTIHAD Rawabango, Cianjur, Jawa Barat

Bila anda sempat mengunjungi kota Cianjur, Jawa Barat sempatkanlah sejenak untuk mampir ke Pondok Pesantren Al-Ittihad. Pesantren yang awal berdirinya bermodalkan tanah seluas 11.000 meter2 itu diberi nama Al-Ittihad karena para pendirinya berkeinginan untuk menjadikannya sebagai wujud kebersamaan, persaudaraan dan persatuan keluarga. Keluarga menyetujui bahwa tanah miliknya di sekeliling pesantren sebagai warisan orangtua diwakafkan untuk pengembangan dan pembangunan pesantren.

Keberadaan pesantren ini bermula ketika tahun 1997 yang merupakan tahun pencerahan batin Bapak H. Ecep Badruddin, BA (saudagar di Jakarta) yang telah sukses dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan. Beliau terinspirasi dengan kesuksesannya mengelola sebuah lembaga bernama Yayasan Budi Mulya di Jakarta. Yayasan tersebut bergerak dibidang pendidikan formal dan informal (RA, TKA, TPA, MD). Beliau berfikir jauh tentang tanah wakaf mertuanya H.Mahpud yang berlokasi di Rawabango Karangtengah Cianjur, Jawa Barat dan berinisiatif untuk membangun sebuah lembaga pendidikan Islam.

Setelah lama merenung, Pak Haji Acep Badruddin yang beristrikan Hj. Mimin Rukoyah itu, kemudian memutuskan (ber’azam) untuk mendirikan pondok pesantren. Salah satu pertimbangannya adalah karena beliau memiliki anggota keluarga (menantu) yang mahir di bidang pendidikan pesantren, bernama K.H Kamali Abd.Ghani yang menikah dengan putrinya Dra. Hj. Ety Muflihah. Gayung bersambut, sang menantu menerima tawaran tersebut. Bermodalkan keikhlasan, keteguhan dan pasrah (tawakal) itulah, H.Kamali Abd.Ghani beserta isteri dan kedua anaknya (saat itu Anissa Amalia dan Hasbi Rozaq) berangkat ke Cianjur, tepatnya ke lokasi tanah dimana akan dibangun pesantren.

Dinamika Perkembangan Sejarah Pesantren
Pada bulan Juli 1997, kegiatan belajar mengajar di Pesantren Al Ittihad dilaksanakan. Dengan bemodalkan 4 lokal kelas, 6 santri yang terdiri dari 4 perempuan dan 2 lelaki. Kegiatan pesantren dimulai dengan segala kesederhanaan dan kesahajaan. Semua ini terwujud berkat dorongan dari beberapa orang tua siswa yang ingin menyekolahkan putra-putrinya di pesantren diiringi semangat ingin mewujudkan impian (membina pesantren).

Pesantren Al-Ittihad didirikan dengan membawa misi mengembangkan ilmu pengetahuan keagamaan (Diniyah) yang berorientasi kepada penguasaan kitab salaf (kuning) sebagai ciri pokok pesantren, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Dengan misi seperti itulah kemudian pesantren ini mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Perkembangan pesantren Al-Ittihad lebih nampak lagi setelah hadirnya Drs. Aguslani Mushlih ZA (seorang aktivis di berbagai organisasi : PMII, BKPRMI, KNPI, MUI, ICMI, DMI, NU) yang diamanahi menjadi Kepala SMP.

Lambat laun pesantren ini semakin berkembang dan mengadopsi sistem dan kurikulum pendidikan formal. Periode 1999-2000 dapat dikatakan sebagai masa kemajuan pertama pesantren. Nama SLTP Al-Ittihad mulai terdengar oleh masyarakat Kabupaten Cianjur, dan ini juga masa pertama kali SLTP Al-Ittihad mengikuti Ujian Nasional. Para siswanya dinyatakan LULUS 100%. Untuk melanjutkan pendidikan pesantren agar berkesinambungan, maka pada periode ini pesantren mendirikan SMU. Sebagai figur kepemimpinan untuk mengelola SMU tersebut, ditunjuk Dra.Hj.Ety Muflihah sebagai Kepala yang pertama. Pada masa ini para santri mulai bertambah dari berbagi daerah yang jumlahnya mencapai 300 an orang.

Pemahaman Islam yang inklusif dan progresif yang diajarkan oleh pesantren ini kepada para santrinya, terkadang juga menuai pro dan kontra. Awalnya masih ada sebagian anggota masyarakat yang bertanya-tanya mengenai faham yang dianut oleh pesantren Al-Ittihad. Namun setelah pimpinan pesantren (KH.Kamali Abd.Ghani) terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Cianjur periode belajar mengajar tahun 2000-2001 maka menjadi semakin kuatlah keyakinan masyarakat untuk mengirim putra-putrinya menimba ilmu pesantren ini. Pada periode ini jumlah santri mencapai 600 an orang. Periode ini dapat disebut sebagai masa kemajuan kedua.

Pesantren Al Ittihad juga dikenal dengan jaringan kerjasamanya yang luas. Oleh karenanya pesantren mulai banyak menerima bantuan antara lain yang diperuntukkan bagi pembangunan sekolah melalui Departemen Pendidikan Nasional, melalui program imbal-swadaya. Pesantren Al Ittihad juga pernah menerima dana hibah dari Belanda, bahkan Kepala SLTP/SMP Al-Ittihad pada tahun 2002- 2003 (Aguslani Mushlih ZA) menerima Piagam Penghargaan dari Bupati Cianjur terdahulu (Ir.H.Wasidi Swastomo,M.Si) sebagai Kepala SMP terbaik dalam mengelola dana Hibah Belanda Tahun 2003.

Ibarat pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Para pimpinan di lingkungan pesantren baik kepala sekolah, guru, maupun para santri berlomba-lomba mencetak prestasi bagi kepentingan pengembangan pesantren. Kini kepemimpinan SLTP telah beralih dari tangan Ust. Aguslani Mushlih ZA kepada Ust.Hendri Irawan S.Pdi. Menurut Ustadz Hendri, ada sebuah prinsip yang harus dicamkan. “Jangan puas dengan apa yang sudah didapatkan, pertahankan sesuatu yang sudah ada dan berusahalah menyempurnakan segala kekurangan yang ada “ Motivasi ini diharapkan dapat mempersatukan guru dan menjadi satu strategi untuk membangun sebuah teamwork yang baik.

Kegiatan Santri dan Kiprah Pesantren
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan dimana aktivitas sehari-hari para santrinya diatur dalam sebuah jadwal yang ketat dalam kerangka sebuah proses pembelajaran. Pengaturan agenda kegiatan santri ini juga dimaksudkan agar mereka belajar disiplin dan menghargai waktu. Dalam mahfuzhat yang diajarkan, terdapat sebuah ungkapan “al waqtu atsmanu minadz-dzahabi”. Waktu itu lebih berharga daripada emas.

Secara tidak langsung, kiprah pesantren itu sangat terasa bagi pemberdayaan masyarakat, baik masyarakat internal di lingkungan pesantren maupun masyarakat eksternal (orang tua dan wali santri). Setiap tahun, pimpinan pesantren AlIttihad membagikan infaq/shadaqah/ zakat kepada masyarakat lingkungan pesantren yang termasuk kelompok fuqara, masakin dan mustadh’afin. Sedangkan pemberdayaan bagi masyarakat eksternal lebih terfokus kepada para orang tua dan wali santri melalui kegiatan forum silaturahmi setiap liburan pesantren. Secara rutin dilakukan silaturahmi tahunan menjelang tahun pelajaran baru, dimana melalui forum itulah pimpinan pesantren menyapa seluruh orang tua dan wali santri serta memberikan taushiyah-nya sebagai upaya pencerahan maupun pendalaman wawasan keagamaan.

Peran Serta Perempuan dalam Pengembangan Pesantren
Perempuan memiliki peran yang sangat signifikan dalam perkembangan kehidupan pesantren. Keterlibatannya sangat diandalkan. Keberadaan pengasuh pesantren seperti Ibu Nyai Hj. Ety Muflihah, misalnya telah memberi inspirasi agar para orang tua berkenan menyekolahkan anak perempuannya di pesantren. Selain menjalani aktivitasnya sebagai seorang ibu bagi putera-puterinya, Bu Ety juga memiliki peran penting dalam kegiatan dunia akademis (sebagai pengajar, pelatih, pembina) dalam berbagai kegiatan pesantren.

Selain Ibu Ety ada 20 pengajar perempuan lain yang ikut andil dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan di pesantren. Misalnya Ade Yuyu Haeni, ia adalah seorang pengajar sekaligus pembina anak-anak perempuan di Al-ittihad.

Keberadaan pesantren Al-Ittihad juga sangat didukung oleh aktivitas para santriwatinya. Mereka memiliki peran penting di pesantren ini. Sebagai contoh dengan dibentuknya group qasidah putri, teater putri, nasyid putri, group shalawat putri, qari’ah/IPQAH, group marhaba/diba-an putri. Selain itu para santriwati juga belajar berorganisasi melalui Organisasi Ikatan Pelajar Putri Pondok Pesantren Al-Ittihad. Semua aktivitas yang dilakukan perempuan tersebut sangat membantu perkembangan pesantren.

Peran perempuan dalam pengembangan pesantren juga harus bersinergi dengan kesadaran kaum lelaki. Oleh karena itu, hadirnya Ustadz Abul Aswad Adduali, S.Pd yang banyak berkecimpung di berbagai worskshop dan pelatihan mengenai isu kesetaraan gender bekerjasama dengan Rahima membantu upaya penguatan hak-hak perempuan di lingkup pendidikan pesantren. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengangkat martabat dan derajat perempuan dalam berbagi bidang dan posisi.
Semenjak tahun 2004, Pak Aswad dan beberapa ustadz dan ustadzah di lingkungan pondok berjuang untuk membangun kesetaraan relasi lelaki dan perempuan di lingkungan pesantren ini. Upaya ini bermula dari forum belajar bersama komunitas Rahima dalam beberapa kali training dan workshop seperti Pendidikan Pemilih berperspektif Gender untuk Guru dan Pengasuh Pesantren, Penguatan Hak-hak Perempuan bagi Komunitas Pesantren dan lain-lainnya, baik yang diadakan di Pesantren Al-Ittihad sendiri maupun di kawasan lainnya. Hasilnya ? Kini sudah banyak dirasakan oleh kaum perempuan di lingkungan pesantren. Mereka tak lagi merasa minder untuk berkiprah di tengah kaum lelaki. Mereka juga dapat menggunakan sebuah media bernama BP/BK (Bimbingan Penyuluhan dan Bimbingan Konseling) di mana perempuan dapat berdiskusi bersama ustadz Abul Aswad Adduali.S.Pdi berkaitan dengan persoalan-persoalan mereka. Maju terus Al-Ittihad.(Al-Ittihad)

Monday, March 5, 2007

Peta Cianjur

Hari Jadi Cianjur

Tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber - sumber tertulis , sejak tahun 1614 daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram. Tersebutlah sekitar tanggal 2 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kuku-kunya di tanah nusantara.Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda / VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.

Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 2 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.

Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru di pinggir sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Agama Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk agama Hindu.

Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.

Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).

Dalem / Bupati Cianjur dari masa ke masa

1. R.A. Wira Tanu I (1677-1691)
2. R.A. Wira Tanu II (1691-1707)
3. R.A. Wira Tanu III (1707-1727)
4. R.A. Wira Tanu Datar IV (1927-1761)
5. R.A. Wira Tanu Datar V (1761-1776)
6. R.A. Wira Tanu Datar VI (1776-1813)
7. R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833)
8. R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834)
9. R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862)
10. R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910)
11. R. Demang Nata Kusumah (1910-1912)
12. R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920)
13. R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932)
14. R. Sunarya (1932-1934)
15. R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943)
16. R. Adiwikarta (1943-1945)
17. R. Yasin Partadiredja (1945-1945)
18. R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946)
19. R. Abas Wilagasomantri (1946-1948)
20. R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950)
21. R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952)
22. R. Akhyad Penna (1952-1956)
23. R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957)
24. R. Muryani Nataatmadja (1957-1959)
25. R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966)
26. Letkol R. Rakhmat (1966-1966)
27. Letkol Sarmada (1966-1969)
28. R. Gadjali Gandawidura (1969-1970)
29. Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978)
30. Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983)
31. Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988)
32. Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1966)
33. Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001)
34. Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006))
35. Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)

Filosofi Cianjur

Cianjur memiliki filosofi yang sangat bagus, yakni ngaos-mamaos dan maen po yang mengingatkan tentang 3 (tiga) aspek keparipurnaan hidup. Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan ke beragamaan. Citra sebagai daerah agamis ini konon sudah terintis sejak Cianjur ada dari ketiadan yakni sekitar tahun 1677 dimana tatar Cianjur ini dibangun oleh para ulama dan santri tempo dulu yang gencar mengembangkan syiar Islam. Itulah sebabnya Cianjur juga sempat mendapat julukan gudang santri dan kyai. Bila di tengok sekilas sejarah perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak pula di pondok-pondok pesantren. Banyak pejuang-pejuang yang meminta restu para kyai sebelum berangkat ke medan perang. Mereka baru merasakan lengkap dan percaya diri berangkat ke medan juang setelah mendapat restu para kyai. Mamaos adalah seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. Ia menjadi pupuhu (pemimpin) tatar Cianjur sekitar tahun 1834-1862.

Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (Kecapi besar dan Kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru. Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaanNya. Sedangkan Maen Po adalah seni diri pencak silat yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan. Pencipta dan penyebar maen po ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan. Dalam maen po dikenal ilmu Liliwatan (penghindaran) dan Peupeuhan (pukulan).

Apabila diresapi filosofi tersebut, pada hakekatnya merupakan symbol rasa keber-agama -an, kebudayaan dan kerja keras. Dengan keber-agama-an sasaran yang ingin dicapai adalah terciptanya keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat cianjur ingin mempertahankan keberadaannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tatakrama dan sopan santun dalam tata pergaulan hidup. Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maen po, masyarakat Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam meningkatkan mutu kehidupan. Liliwatan, tidak semata-mata permainan beladiri dalam pencak silat, tetapi juga ditafsirkan sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang maksiat. Sedangkan peupeuhan atau pukulan ditafsirkan sebagai kekuatan didalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.

Sedangkan visi pembangunan Kabupaten Cianjur untuk kurun waktu 5 tahun dari tahun 2006 sampai 2011 adalah Terwujudnya Kabupaten Cianjur lebih cerdas, sehat, sejahtera dan berakhlaqul karimah.

Saturday, March 3, 2007

Ucapan Terimakasih Kuucapkan

  • Terimakasih kepada kedua Orang Tuaku Tercinta yang telah merawatku dari kecil hingga dewasa...Jasa Mu takan terbalaskan oleh apapun yang ada di Dunia ini...

  • Dan Terimakasihku Untuk Team Telematika Indonesia yang telah mengajarkanku segalahal tentang teknologi tercanggih massa kini.

  • Terima kasih juga untuk Pondok Pesantren Al-Ittihad yang telah mengajarkan ku Mana yang Baik dan mana yang Buruk

  • Dan Cianjurku tercinta...yang takan pernah terlupakan keindahan alamnya yang begitu Indah (Subhanallah)...